Hari ini ada yang aneh dengan perasaanku,
ada sendu di sudut hati tatkala menatapi album foto usang yang nyaris hangus
terbakar. Di dalam album itu, terdapat banyak sekali kenangan. Setiap foto yang
tercetak menyiratkan cerita tersendiri.
Seperti foto usang itu, empat wajah
putraku berpose di sana. Mereka duduk berderet sesuai urutan usianya.
Hem …
sendu hatiku bukan karena sedih, tetapi terkenang masa-masa kecil mereka yang
bermain bersama tanpa didampingi oleh ibunya. Bukannya tidak pernah, tetapi
sangat jarang.
Banyak cerita dalam keseharian mereka yang
terlewati. Kesibukanku sebagai ibu yang bekerja di luar rumah yang menjadi
penyebabnya. Aku hanya memiliki separuh waktu bersamanya. Mereka tumbuh dan
berkembang diantara orang-orang yang silih berganti menemaninya. Barangkali
karena itulah, mereka memiliki pribadi yang mandiri, dan gampang beradaptasi.
Apakah aku menyesal dengan pilihan yang
terlanjur kujalani? Tidak! Ini pilihanku. Pilihanku untuk menjadi guru telah
sesuai dengan passionku, aku bangga dengan pilihanku, anak-anakku pun bangga.
Aku yakin itu, terbukti ketika
mereka dengan bangganya memamerkan aku kepada teman-temannya.
“ini mamaku, mamaku pandai, dia guru” kata
si sulung .
Atau ketika putra ke-empatku bercerita kepada
temannya, waktu itu dia masih bersekolah di taman kanak-kanak.
“Kalau mau belajar, di rumahku saja, ada
mamaku yang akan mengajar kalian. Dia pintar, mamaku guru”.
Itulah mereka, yang bangga dengan mamanya.
Kembali kutatap foto usang itu, terlihat
senyum sumringah dari sulungku. Terbayang lagi masa kecilnya.
Awalnya dia egois. Semua mainan yang ada
di rumah adalah miliknya. Namun seiring dengan berjalannya waktu, dia mulai
berubah. Dia tampil sebagai pribadi yang lebih penyabar, dia yang memimpin
adik-adiknya, mengingatkan waktu sholat, serta mengajak adik-adiknya ke masjid.
Aku dan si-sulung sering jalan berdua. Ke
toko buku, ke mall, atau sekedar menemaniku sarapan bubur di warung bubur
langgananku. Berkunjung ke rumah saudara ataupun ke rumah sahabatku, paling
nyaman mengajak dia. Dia sabar menemaniku, menungguiku yang asyik bercengkrama
dengan sahabatku.
Kupandangi foto putra keduaku, dahinya
yang lebar menggambarkan kecerdasannya dan kepribadiannya yang tenang.
Senyumnya manis dengan lesung pipit yang menambah manis parasnya. Saat dia di
TK, banyak sekali temannya yang datang menjemput, memanggil-manggil namanya.
“Fausan … Fauzan … ayo kita ke sekolah”
Teriak teman-temannya.
Hampir setiap hari dia dijemput oleh
teman-temannya, dan uniknya yang datang menjemput adalah gadis-gadis cilik
teman TK nya. Kalau ditanya, kenapa yang jemput hanya teman perempuan, maka dia
akan menjawab.
“Mereka fansku, mama” katanya sambil
menaikkan alisnya, menggoda.
Suatu waktu, dia terkena penyakit sesak
akibat alergi debu. Dia sangat tersiksa. Begitu tersiksanya sehingga ia
memukul-mukul dadanya sendiri. Namun sungguh, aku sangat bangga padanya,
sesesak apapun dia, ia tetap melaksanakan sholat.
Seperti waktu itu, hari Jum’at. Sesaknya
datang lagi, ia menelungkupkan kepalanya di atas bantal. Pikirku, ia akan
melewatkan sholat Jum’atnya. Tetapi, begitu azan pertama berkumandang di masjid
belakang rumah kami, ia bangun dengan nafas tersengal, buru-buru memakai
pakaiannya lalu lari ke masjid. Sholat Jum’at. Subhanallah!
Alhamdulillah, kini ia telah sembuh. Ia
menjelma menjadi pemuda tangguh yang semakin gagah. Sehat terus anakku!
Foto usang itu menggambarkan keakraban
mereka, terlihat putra ketigaku, duduk bersila diatas kedua paha adik dan
kakaknya. Walau kulitnya yang paling gelap diantara mereka, tetapi ia pula yang
memiliki senyum paling manis.
Jika ia membutuhkan sesuatu, maka cukuplah
ia datang kepadaku, duduk manis sambil memamerkan giginya yang putih. Ia tidak
menyebutkan keperluannya, ia hanya senyum-senyum menunggu aku ataupun bapaknya
bertanya apa keperluannya. Ia sangat pandai merayu kami, tetapi ia juga yang
paling keras kepala. Setiap keinginannya akan ia perjuangkan hingga ia
berhasil mencapainya.
Suatu waktu, aku tersenyum geli melihat
tingkahnya. Sebelum ke tempatnya mengaji ia memakai celana berlapis-lapis, lalu
aku bertanya.
“Kenapa memakai celana seperti itu, Fauzi?”
“Bacaan al Qur’anku belum sempurna ma...”
jawabnya.
“Apa hubungannya bacaanmu yang belum
sempurna dengan celana berlapis-lapis itu” tanyaku heran.
“Supaya, kalau guruku mencubit pahaku,
maka yang dia cubit itu celanaku” jawabnya sambil terkekeh-kekeh.
Ah, si Fauzi ini memang banyak akalnya.
Dalam foto usang itu, terselip muka putra
ke-empatku Dalam foto itu terlihat mukanya yang tegang tanpa senyum. Ah …
ia memang begitu kala berfoto, mukanya selalu ditekuk.
Pribadinya sederhana, ia jarang marah.
Ketika anak muda seusianya asyik dengan permainan game di warnet, dia malah
menghabiskan waktunya di TPA mengajar mengaji. Dia dipanggil ustaz oleh
santri-santri ciliknya.
Katanya, cita-citanya sederhana.
“Aku hanya mau jadi mubalig, keliling kota
ataupun keliling dunia menyampaikan risalah”. Katanya suatu waktu.
“Itu bukan cita-cita sederhana nak, butuh
perjuangan dan usaha keras untuk mencapainya”. Jawabku.
Namun apapun cita-citamu selama itu baik
bagi dirimu, bagi agama, maka mamamu ini akan selalu mendukungmu, mendoakanmu
di setiap sujudku.
Kembali kupandangi foto usang itu, tiada
lagi rasa sendu. Senyumku mengembang tanpa kusadari. Kenangan masa kecil
anak-anakku seakan menarikku ke dalam pusaran kebahagiaan.
Foto itu memang telah usang, namun
kenangannya tak pernah pudar, akan terus melekat dalam ingatan, bahwa di masa
lalu kalian pernah mengisi hari-hariku dengan celoteh-celoteh masa kecilmu.
Kalian telah memaksaku untuk mempelajari
berbagai hal. Belajar bersabar kala kalian bertingkah terlalu lincah, belajar
menahan kesedihan disaat kalian kecewa, belajar mengatur keuangan pada saat
kebutuhan keluarga semakin meningkat.
Maka, teruslah bertumbuh dan berkembang,
tentukan masa depanmu dengan langkah yang tegak, hadapilah dunia dengan jiwa
yang tegar dan selalu bersandar kepada Ilahi. Karena kami, orang tuamu
akan tiba di penghujung waktu.
Dan jika masa itu tiba, kalian akan
menggantikan posisi kami sebagai orang tua. Maka jadilah orang tua yang lebih
baik dari orang tuamu.
0 Komentar