Malam ini, tanpa
sengaja saya membaca postingan teman di facebook tentang guru.
“Guru itu hanya
mengejar tunjangan saja, kualitas nomor dua”.
Entah mengapa, saya
sangat sedih.
Apakah karena saya
juga seorang guru sehingga tanpa sengaja kesedihan itu menyelusup ke
relung-relung hatiku? Entahlah.
Tiba-tiba saja saya teringat
guru saya di SD. Seorang diri di kelas mengajarkan semua jenis mata pelajaran. Mulai pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia
hingga kesenian.
Aduhai, betapa hebatnya
mereka!
Ketika itu saya
memandang profesi guru adalah profesi yang paling hebat, lebih hebat daripada dokter, lebih hebat daripada
polisi, bahkan lebih hebat daripada presiden.
Waktu itu saya
berpikir, kalau dokter tahunya hanya menyuntik, memeriksa bagian dada menggunakan
stetoskop , mengukur tekanan darah dan denyut jantung, kemudian memberi resep.
Saya berpikir pula
kalau polisi itu hanya tahunya mengatur lalu lintas di jalan, menangkap orang
jahat dan menakut-nakuti anak kecil.
Saya juga berpikir,
presiden itu tahunya hanya pidato dan menjadi Pembina upacara. Sedangkan guru SD
saya, mampu mengajarkan semua mata pelajaran, sangat piawai menjelaskan ilmu
berhitung, tulisannya bagus dan rapi, sangat pandai bercerita tentang sejarah, mulai sejarah tentang pahlawan negara hingga sejarah Islam. Dia juga sangat
pandai bernyanyi, walau kadang-kadang suaranya serak.
Pandangan masa kecilku
itulah yang menuntunku kearah jalan yang saat ini kujalani. Jadi Guru!
Guru adalah pilihan
hidupku!
Sebelum Pemerintah
Indonesia menggelontorkan tunjangan
profesi untuk guru, yaitu tunjangan sertifikasi, kami para guru tetap mengajar
dengan ikhlas. Walau dengan gaji secukupnya.
Di masa yang lalu,
profesi guru di Negara yang kita cintai ini merupakan profesi yang tidak
diminati. Apalagi oleh anak muda.
Profesi guru adalah
kampungan, miskin. Mungkin karena itulah Iwan Fals menciptakan lagu Umar Bakri.
Umar Bakri, dalam lagu itu digambarkan sebagai guru yang
memakai sepeda butut, jujur berbakti
tetapi selalu makan hati. Sedikit
miris membaca lirik lagu itu namun rupanya Iwan Fals sangat paham kalau guru
telah banyak menciptakan menteri, professor, dokter bahkan insinyur. Dan Iwan
Fals juga prihatin karena gaji guru seperti dikebiri.
Apakah saat ini, guru
masih seperti Umar Bakri?
Tentu saja tidak, bagi
sebahagian guru. Sebahagian saja?
Yah!
Karena ada beberapa
guru yang belum dapat menikmati sepenuhnya tunjangan sertifikasi tersebut.
Mereka adalah para guru yang masih berstatus honorer.
Setelah sekian lama
bergaul dengan saudara-saudara saya yang masih berstatus honorer, mendengarkan
cerita-cerita mereka, ikut bersenda gurau bahkan menyimak curhatan mereka. Saya
lalu berkesimpulan kalau ternyata masih banyak Umar Bakri-Umar bakri lain.
Walaupun tidak lagi
menggunakan sepeda butut, tetapi masih sering makan hati. Jumlah gaji mereka
atau lebih tepatnya honor mereka tergantung pada jumlah jam yang dijalankan.
Apakah sama dengan upah minimal regional (UMR) buruh?
Tidak!
Jauuuh!
Kadang-kadang mereka menertawakan
diri sendiri sambil bercanda.
“Kita tampil keren
dapat gaji seadanya, buruh tampil seadanya tetapi gajinya keren”.
Walaupun kadang
mengeluh tetapi mereka masih saja berusaha mengajar dengan baik. Dengan honor
seadanya, mereka masih menyisihkannya untuk membeli pakaian agar tampak rapi
kala mengajar di kelas. Penampilan rapi dan bersih adalah salah satu “kode
etik” guru, karena mereka akan tampil bagai artis di depan kelas.
Ah, lupakanlah sejenak
nasib saudara-saudara saya itu, karena ada yang menarik hati. Sertifikasi, yah
sertifikasi!
Karena sertifikasi,
nasib guru dianggap semakin baik. Karena sertifikasi pula profesi guru mulai dilirik.
Apakah karena
sertifikasi ini yang membuat banyak orang mulai mengamati, meneliti,
menganalisis dengan berbagai macam indikator kemudian menarik kesimpulan?
Apakah karena sertifikasi ini yang membuat banyak orang mulai “iri”, sehingga
sebahagian orang mulai melupakan jasa-jasa gurunya?
Pernahkah mereka
berkunjung ke pelosok-pelosok desa, ke pulau-pulau yang tersebar di seluruh
Nusantara? Atau pernahkah mereka datang ke lereng-lereng bukit dimana
jalanannya hanya bisa dilewati oleh satu orang saja dan hanya bisa ditempuh
dengan berjalan kaki saja? Apakah mereka tahu jika di tempat-tempat itu ada
banyak guru yang mengabdikan jiwa raganya, mengikhlaskan membagi ilmunya kepada
ribuan bahkan jutaan anak-anak bangsa.
Maka, berhentilah menyudutkan
guru, berilah mereka kesempatan memperbaiki diri kalau itu memang dianggap
masih kurang. Bantulah mereka berjuang karena sesungguhnya yang diperjuangkan
itu adalah untuk kejayaan bangsa!
0 Komentar