MARLIAH
Dia bukan orang asing bagiku.
Beberapa tahun yang lalu, ia
adalah salah seorang muridku. Waktu itu, ia masih sangat belia. Wajahnya imut
dengan mata bulat yang menyiratkan kecerdasannya. Maka ketika bertemu kembali,
saya agak pangling. Dia semakin dewasa
dan telah dikaruniai 6 orang anak. Bahkan dia bukan lagi muridku melainkan
telah menjadi rekan kerjaku.
Wajahnya semakin memancarkan kecerdasannya. Dia
disegani oleh semua orang. Baik oleh murid-muridnya maupun oleh rekan-rekan
guru di sekolah. Disegani bukan karena kecerdasannya saja melainkan juga karena
ketegasannya dan terutama karena
kedisiplinannya.
“Saya malu Bu.kalau terlambat ke
sekolah” Itu kata yang biasa saya dengar dari bibirnya.
Dia mengerjakan semua kewajibannya
dengan baik dan tepat waktu padahal dia juga tercatat sebagai mahasiswa S2 di
salah satu perguruan tinggi di Makassar.
Lalu kabar itu berhembus sangat
kencang. Ibu Marliah pergi meninggalkan rumahnya. Saya tidak pernah berani
menanyakan hal itu. Saya tidak percaya dengan berita itu, karena tidak ada
perubahan yang terjadi pada kesehariannya di sekolah. Dia masih tetap disiplin
mengajar, kuliahnya juga masih lancar.
Dan yang terpenting senyumnya
masih sumringah. Dia termasuk guru yang paling sering bercanda. Karena seringnya
bercanda, jika ia seriuspun masih dianggap sedang bercanda. Pokoknya ia masih
seperti yang dahulu.
Pagi itu, ia duduk disampingku,
dengan suara yang datar ia berkata: “ibu, saya telah meninggalkan rumahku,
suamiku, dan anak-anakku”
Bagai disambar petir, saya
menengok ke arahnya. Menatap lekat-lekat mukanya. Ada raut gelisah di sana. Oh..
baru terbaca olehku, wajahnya tidak seceriah dahulu. Ia sedikit kurus.
“Saya kurus yah bu?” tanyanya
seakan tahu pikiranku.
“Iya, tetapi kamu tambah cantik,
karena badanmu menjadi langsing” kataku.
“Eh, ibu bisa saja”
“Bagaimana kuliahmu, kamu tinggal
di mana sekarang?” Tak sadar saya memberondongnya dengan pertanyaan.
“Alhamdulillah, kuliahku lancar
bu. Saya sekarang tinggal di daerah” jawabnya sambil tersenyum simpul
Hari berlalu, Ibu Marliah masih
terus sibuk dengan dua aktifitasnya, mengajar sambil kuliah. Saya tak pernah
lagi bertanya tentang keadaannya.
Setahun telah berlalu, ibu Marliah
mengabarkan kalau dia telah resmi bercerai. Dan memutuskan untuk menetap di desanya.
Suatu daerah yang jaraknya ke kota Makassar sejauh kurang lebih 95 km. Enam
hari dalam seminggu ia menempuh perjalanan panjang, melewati dua kabupaten
dengan kemacetan yang menghadang di perbatasan kota Makassar.
Ia menghabiskan waktu kurang lebih
5 jam di perjalanan untuk pergi pulang dari desanya ke tempat tugasnya mengajar.
Dia masih disiplin menjalankan
tugas, senyumnya kadang diselingi dengan kesedihan disudut matanya. Namun
ketegaran dan semangatnnya masih membara. Dalam dukanya berpisah dengan
keluarga, ia masih mampu menyelesaikan kuliahnya bahkan dengan predikat terbaik
1.
Luar biasa!
Ia masih tetap menjadi guru
kesayangan di sekolah, dengan kharismanya, dengan wibawanya dengan
kedisiplinannya yang tak pernah luntur.
“Saya juga punya perasaan sedih, terkadang
sangat lelah. Namun tugas dan tanggung jawab adalah nomor satu”
“Banyak hikmah yang saya dapatkan
dalam kisah hidupku ini. Saya makin yakin akan kasih sayang Allah, saya juga
kian dekat dengan anak-anakku, dengan keluargaku”
“Dalam perjalanan panjangku setiap
hari banyak sekali saya temui orang-orang yang berjibaku dengan penderitaannya,
orang-orang yang jauh lebih susah dan menderita dari saya”. Ia bercerita
panjang lebar.
Barangkali hikmah itulah yang dia
temukan dalam kisah hidupnya. Bahwa dibalik penderitaannya berpisah dengan
keluarganya dia menemukan keluarga-keluarga lain di sekelilingnya. Ia berjumpa
dengan orang-orang yang jauh lebih menderita dari dirinya. Ia dapat mengambil
hikmah atas semua itu, sehingga ia masih dapat terus bersyukur atas nikmat lain
yang dirasakannya.
Ia memaknai rasa syukur itu dengan
tetap menjalankan tugasnya dengan baik.
Bahkan semakin baik. Dia bersabar atas semua cobaan hidupnya sembari terus
bersyukur atas nikmat-nikmat lain yang dia dapatkan.
Bahwa, sesungguhnya kesabaran akan
selalu berbarengan dengan kesyukuran. Dan atas semua usaha itu maka Allah taala
akan berkenan atasmu. Meridhoi setiap langkah kakimu.
Bukankah nikmat yang abadi itu
adanya di surga, dan dunia ini hanyalah persinggahan sementara untuk
mengumpulkan bekal dalam rangka menghadap kepada pemilik segalanya.
Marliah, selangkah lebih maju
dariku.
Karena dia telah melewati cobaan
yang luar biasa tanpa mengeluh. Menyelesaikan masalah demi masalahnya dengan
sangat cerdas. Dan telah mampu menemukan hikmah atas musibah keluarganya.
0 Komentar