Sejak peristiwa
kebakaran yang menghabiskan 99,9 % harta benda yang tidak seberapa yang
kumiliki terasa ada sesuatu yang terjadi
dalam kehidupanku, “sesuatu” itu tak kumengerti, karena aku merasa tak
bersedih, tidak galau tidak juga kecewa
apalagi marah. Biasa saja.
Pun ketika
rumahku mulai direnovasi sedikit demi sedikit, “sesuatu” itu juga terjadi,
tidak ada rasa senang, tidak juga gembira apalagi rasa bangga, biasa saja.
Saat aku kembali
menempati rumahku yang sudah direnovasi, “sesuatu” itu juga masih ada. Saat
memasuki dapur, melihat ke sekiling
dapur, melihat piring-piring, panci dan lain sebagainya yang berhubungan dapur
berserakah di atas lantai, karena belum memiliki lemari, perasaanku biasa saja.
“Sesuatu” itu masih setia bercokol dalam
hati dan pikiranku.
Aku tak
mempertanyakannya kepada siapapun, terasa tak punya lagi sahabat tempatku
mencurahkan perasaan, tak punya saudara untuk mempertanyakan apa nama sesuatu
itu.
Aku tak mau
bertanya kepada suami maupun anak-anak. Takut saja kalau-kalau mereka akan ikut
merasakan “sesuatu” itu. Cukuplah aku.
Suatu sore, di
atas bemtor kendaraan yang akhir-akhir ini menjadi tumpangan andalanku, aku membaca
postingan teman di media sosial, “perasaan yang tidak bersedih padahal pantas
untuk bersedih, perasaan tidak marah padahal pantas untuk marah, perasaan tidak
kecewa padahal pantas untuk kecewa, perasaan tidak gembira padahal pantas untuk
bergembira, apa yah namanya?”
Hampa ! Jawabku
dalam hati.
Aups … inikan
yang kurasakan satu tahun terakhir ini, perasaam “sesuatu” yang kurasakan
selama ini.
Ya … ya … ya,
“sesuatu” itu adalah perasaan hampa!
Aku mengeja
kata-kata itu dalam hati, ketika musibah itu datang seharusnya aku menangis
sekedar melampiaskan perasaan sedihku kehilangan harta, walau tidak boleh
berlebihan.
Ketika rumahku
direnovasi, seharusnya aku bergembira karena harapan untuk kembali ke rumah
akan mulai terwujud walau sedikit demi sedikit.
Ketika aku
memasuki rumahku lagi seharusnya aku tertawa bahagia sekedar melampiaskan
kepuasanku karena kembali kerumahku lagi bersama keluargaku.
Ya … ya … seharusnya
demikian. Mengapa selama ini aku membiarkan perasaan sesuatu itu yang rupanya
bernama hampa untuk terus bercokol dalam hati dan pikiranku?
Aku tersentak,
serasa terbangun dari mimpi panjang, mengembara dalam belantara tanpa tujuan.
Suatu waktu, aku
membaca postingan teman tentang grup yang menginspirasi dia, grup TNB 13.
Maka pilihanku
adalah bergabung ke grup Tips Nulis dan Bisnis tersebut, mulai membaca
postingan-postingan yang mengajakku untuk terus bersemangat, mengajakku memupuk
asa sedikit demi sedikit.
Mengikuti
training online menulis kisah inspiratif adalah pilihan pertamaku, lalu aku
menuliskan kisah itu dengan segenap perasaanku, kutulis kisah itu sambil
berlinang air mata, dadaku sesak menuliskan kisah ibuku, kisahku sendiri.
Buum ….
Semua kehampaan sirna seketika. Alhamdulillah … Allahu Akbar.
Maka benarlah
kata ibu Anna Farida bahwa “menulis sebagai teman terapi”.
Bismillahir
rrahmanir Rahim …
Laptop yang lama kutinggalkan
mulai kulirik. Selama ini benda itu hanya kupakai sekedarnya, mengerjakan administrasi, perangkat
pembelajaranku sebagai guru di sekolah.
Malam-malamku
yang selama ini kuhabiskan di depan tv menonton acara yang membuatku tertawa
terpingkal-pingkal rupanya hanya fatamorgana semata. Mencoba tertawa dalam kehampaan,
menutupi kesedihanku yang sesungguhnya.
Selamat datang,
malam-malamku yang panjang , selamat datang laptopku yang setia yang selama ini
menantiku untuk kugunakan menuliskan semua hal.
Perasaanku
bagaikan lebih muda dari usiaku yang sesungguhnya.
Tak apalah …
tiada kata terlambat untuk memulai sesuatu yang bermanfaat.
Disaat mulai
menulis itulah aku tersadar , rupanya aku telah kehilangan banyak sekali harta
yang kubutuhkan saat ini, yaitu buku.
Buku-bukuku yang
menjadi sumber informasi dan sumber pengetahuanku ikut hangus terbakar.
Sekali lagi, tak
apalah aku bisa memulainya sedikit demi sedikit.
Saat itu pula aku
tersadar, aku telah kehilangan waktu,.
Tetapi tak apalah,
aku masih punya kesempatan.
Aku bersumpah, tidak
lagi menyia-nyiakan waktuku, sebagaimana Allah telah bersumpah;
“Demi
masa. Sungguh manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh
dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya
menetapi kesabaran” Al Qur’an surah Al-‘Asr
Akan kugunakan
sisa waktuku untuk berbuat yang terbaik, akan kuusahakan segala kemampuanku
untuk mengamalkan surah Al-‘Asr, agar aku berakhir dengan khusnul khotimah.
Akan kutebarkan
kebaikan dalam tulisanku agar generasi berikutnya mengingatku, bahwa di waktu yang
lalu ada seorang ibu yang pernah berputus asa namun diingkari dengan
berpura-pura bahagia, berpura-pura tidak
bersedih sehingga dia terjebak dalam kehampaan.
Bahwa di waktu yang
lalu ada seorang ibu, yang kemudian bersemangat diusianya yang tidak lagi muda
dan dengan semangat itu telah menularkan kepada setiap generasi sesudahnya.
0 Komentar