Kedekatanku dengannya tidak
diragukan lagi.
Di waktu kecilku, dia yang selalu
memujiku.
“Kelak anakku ini akan menjadi
orang yang sukses, karena dia sangat rajin belajar” pujinya kepada setiap orang
yang kami temui.
Wajahnya sangat tampan, hidungnya
mancung, giginya putih dan rata.
Dia sangat gemar membaca. Setiap
selesai membaca maka ia kan mengajakku berdiskusi. Memaksaku mengkritisi
bacaannya. Karenanya mau tidak mau, suka atau tidak suka, saya harus membaca
pula bacaannya.
Jika tidak, maka saya tidak punya bahan untuk berdiskusi
dengannya, lebih seringnya sih beradu argumen.
Terkadang dia menanyakan siapa
pemuda yang pernah mengirimiku surat cinta. Dan saat peristiwa itu terjadi,
saya dengan lugunya memperlihatkan surat cinta pertama yang saya terima.
Dia tertawa terbahak membaca surat
itu.
“Ha.ha..ha..pemuda ini sungguh
bodoh, dia tidak pintar menulis surat. Pasti otaknya hanya sejumput puntung
rokok” katanya samba tertawa renyah
Dan kata-kata itu selalu saja
terucap setiap kali saya memperlihatkan surat-surat cinta berikutnya. Kadang
dia berkata.
“Aiii, pemuda ini tidak pantas
dengan kamu, dia tidak secerdas dirimu”
Belakangan saya mengerti,
begitulah cara beliau melarangku berhubungan dengan pria. Dia tidak pernah
secara terang-terangan melarangku berkirim surat cinta apalagi berhubungan
dekat dengan pria.
Karena setiap kali dia berkomentar
tentang surat-surat tersebut maka spontan saya merobeknya dan tidak lagi
mengindahkannya.
Demikianlah bapak, orang tua yang
kukasihi segenap jiwaku Dia mengajariku cara membaca yang
baik. Menuntunku memahami setiap tulisan
juga mengajariku berdiskusi.
Dia bukanlah seorang guru apalagi
seorang professor. Dia bapak yang biasa saja. Tidak berkantor, tidak pula kaya.
Dia sangat sederhana bahkan cenderung miskin. Namun dia sangat kaya dengan
ilmu. Dia rajin belajar dengan membaca.
Dia memberi contoh bahwa dengan
membaca kita dapat mengarungi luasnya ilmu. Tanpa membaca kita akan buta, buta
yang sesungguhnya.
Ketika penglihatannya diambil oleh
Allah swt, maka kami anak-anaknya yang bertugas menuliskan ceritanya. Dia sangat piawai mendongeng,
dongengnya itu selalu bertemakan Islam.
Jika ia bercerita tentang
Rasulullah saw, matanya selalu berkaca-kaca. Kadang ceritanya diselingi dengan
bacaan barzanji dan lebih sering diselingi dengan mengaji.
Saat dia melantunkan ayat-ayat
suci Al Qur’an yang dia hafal, suaranya sangat syahdu. Mengalun merdu dan tidak
lupa meminta saya mengecek bacaannya, kalau-kalau ada yang salah.
Pada saat saya mengecek bacaannya
terkadang beliau menyuruh untuk melanjutkan bacaannya lalu membaca
terjemahannya. Kemudian beliau akan mengajak saya berdiskusi tentang terjemahan
ayat-ayat tersebut.
Begitulah cara beliau mendekatkan
saya kepada Al Qur’an.
Begitulah cara beliau mengajarkan
nilai-nilai moral, nilai-nilai agama tanpa menggurui, tanpa memaksakan
kehendak.
0 Komentar