Dini hari di Yogyakarta saat aku lagi mandi terdengar
handpone ku berdering, karena keburu sholat subuh aku tidak memperdulikannya.
Saat sholat subuh, terdengar lagi deringannya berulang-ulang. Karena penasaran aku
tunda berzikir dan menengok handpone ku.
Astaga! Tiga puluh
lima kali panggilan tidak terjawab dari
adikku di Makassar. Deg…jantungku berdegup kencang, ada apa ini? Batinku. Belum
sempat aku menelpon balik, handpone ku berdering lagi. Tanpa menungguh waktu aku
langsung angkat.
“Assalamu alaikum, kenapa dek?” tanyaku
“Kak, rumah mama kebakaran!” teriaknya di ujung telepon
tanpa sempat lagi menjawab salamku.
“Astagfirullah, bagaimana keadaan mama, kalian semua?”
jawabku spontan, yang teringat adalah ibuku yang sudah sepuh.
“Mama dan semua selamat, tapi …” jawabnya. Telepon terputus.
Tinggallah aku yang bingung. Aku telepon balik, tidak
diangkat. Aku telepon saudara yang lain, juga tidak diangkat. Tiba-tiba ada
kiriman foto, foto rumah yang kebakaran. Foto rumah ibuku dan foto rumahku!
Rumahku juga kebakaran! Rumahku dan rumah ibuku
bersebelahan. Aku gemetar, jantungku berdegup makin kencang. Entah kenapa aku
ingat si sulung, aku telepon. Tidak di angkat, telepon berkali-kali masih belum
diangkat. Aku telepon lagi anak kedua, juga tidak diangkat.
Tiba-tiba Hp ku berdering
lagi, ada sms dari si sulung. “Ma, kenapa ki?” ciri khas bahasa Makassar Lalu aku
telepon.
“Di manaki nak?” instinku mengatakan kalau dia tidak ada
di rumah
“Di rumahnya temanku, lagi kerja tugas” jawabnya
“Pulang ko nak, rumah ta kebakaran” suaraku parau
“Astagfirullah, iye ma..iye pulangka ini” terdengar panik.
Lalu aku bergegas melapor kepada pimpinan rombongan untuk
balik ke Makassar, aku menyampaikan musibah yang menimpa keluargaku di Makassar.
Setelah mengurus tiket untuk balik ke Makassar, maka tinggallah aku di Bandar udara
Adi Sucipto Yogyakarta menungguh pesawat menuju Makassar.
Sendirian, dengan perasaan yang tak karuan. Hari itu terasa
hari yang paling panjang. Pukul 12.00 WIT, aku tiba di Bandar udara Sultan
Hasanuddin.
Ternyata sudah ada adikku yang menungguh. Wajahnya pias,
pucat dengan mata sembab. Dia langsung memeluk aku dengan tangis yang tertahan.
Sejenak kami berpelukan.
“Sabar, bagaimana keadaannya mama?” aku mencoba menghiburnya.
Lebih tepatnya menghibur diriku sendiri.
“Mama baik kak, tapi rumahnya dan rumah kakak habis”
ucapnya dengan mata berlinang
“Tidak ada yang tersisa kak” dia mulai sedikit meraung
tertahan. Aku kembali memeluknya erat, aku berusaha menahan tangis.
Tidak! Aku tidak boleh menangis, aku harus kuat. Di
sepanjang jalan menuju rumah, kami tidak lagi bercakap. Kami diam. Suaminya
yang menyopiri mobil juga diam.
Dan sampailah kami di rumah saudara tempat keluargaku mengungsi.
Orang pertama yang aku cari adalah mama. Aku memandangi wajahnya yang kuyu.
Ya Allah, tanpa bermaksud memprotes takdir-Mu atas
keluargaku, tapi tolonglah mamaku, berilah ia kekuatan dan kesabaran. Usianya
sudah sepuh, ya Allah, kalau bukan karena limpahan kasih akungMu, bagaimana ia
bisa menjalani sisa sisa usianya. Aku berbisik kepada Allah sambil memandang
wajah mamaku.
Tapi, sungguh aku malu, mamaku tidak menangis. Apalagi
meraung-raung seperti tetangga lain yang senasib. Dia, mamaku dengan bibirnya
yang keriput menceritakan semua kejadian itu dengan lancar. Kadang diselingi
dengan tawa. Seakan kejadian itu adalah peristiwa lucu dan biasa saja.
Dengan rinci, dia menceritakan saat detik-detik api itu
mulai melahap satu perasatu barang barangnya, menyapu bersih rumahnya.
Masya Allah, mama yang sekian puluh tahun menempati rumah
itu tidak sedikitpun menampakkan kesedihannya. Wajahnya memang terlihat lelah.
Sangat lelah. Namun semangatnya tetap membara seperti bara apa yang ada pada
puing puing rumahnya.
“Kalau Allah memberiku umur panjang, insya Allah aku
masih bisa kembali ke rumahku lagi” katanya penuh semangat.
“Aku masih hidup, berarti Allah masih menyimpankan rezki
untukku” katanya lagi.
Oh..mamaku, aku berdesah lirih. Jika, dia yang sudah
sepuh masih memiliki semangat, kenapa aku anaknya tidak. Kesedihanku yang
menggumpal di hati yang sekuat tenagaku kubendung agar tidak terlihat pada
keluargaku terutama suami dan anak-anakku mulai mencair walau sedikit demi
sedikit.
Menatap wajahnya yang penuh harapan dan prasangka baik
kepada-Nya membuatku malu untuk bekeluh kesah.
Perlahan, aku mulai berani melihat puing-puing rumahku.
Karena beberapa saat aku tidak berani ke rumah itu, aku takut kalau aku tidak
mampu menahan tangisku. Melihat muka suamiku yang kelihatan kuyu, anak-anakku
yang berpakaian seadanya karena pakaian yang bisa dia selamatkan hanyalah yang
ada melekat di badannya saja.
Aku sedih. Sungguh … sangat sedih! Namun aku berusaha
membelai mereka, orang-orang yang aku cintai itu dengan senyum Dan terus
memberikan semangat, bahwa semua akan baik-baik saja. Bukankah Allah SWT telah
menjanjikan,
“Bahwa sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan”
Al-Insyirah : 5. Ayat ini sudah lama aku ketahui, bahkan berkali kali aku
ajarkan kepada anak anak aku, kepada teman-teman yang mengalami kesulitan. Tapi
baru kali ini aku memanfaatkannya. Aku merasakan mujizat ayat ini, sebagai
penghibur hati aku, penyemangat aku dan sekaligus pengobat hati.
Kembali menengok wajah ibu aku yang selalu tersenyum
dalam kepiluannya. Aku mendengar tawanya yang halus dalam kesusahannya. Menyaksikan
beliau yang tidak berhenti bersyukur ditengah musibah yang menimpahnya. Beliau
sangat yakin akan janji Allah bahwa sesudah kesulitan akan datang kemudahan.
Beliau percaya bahwa Allah mencintainya. Maka nikmat
Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Jika orang yang kamu khawatirkan akan
sakit dalam kesedihannya justru dia yang menghiburmu.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Jika
anak anakmu yang kamu takutkan keselamatannya justru sangat kuat mengumpulkan sisa-sisa
barang yang terselamatkan.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Jika
orang orang yang kamu takutkan akan mencibirmu justru telah datang satu persatu
membantumu, mendoakanmu.
Bukankah salah satu kenikmatan dunia adalah ketika kita
masih memiliki keluarga, sahabat, teman-teman yang selalu mendukung baik dalam
suka maupun dalam duka.
Maka semangat untuk terus berjuang semakin bergelora
dalam batinku dan aku makin percaya bahwa janji Allah pasti ditepati.
SESUDAH KESULITAN PASTI ADA KEMUDAHAN
0 Komentar