PELAJARAN PERTAMA
Seperti pagi ini, saat aku
membuka pintu, tiba-tiba kamu sudah ada di depanku, menatapku penuh
harap.
Aku gerah melihatmu maka pintu kututup lagi. Tetapi pintu
itu adalah satu-satunya aksesku menuju teras samping. Tidak ada jalan lain, aku
harus membukanya. Kutahan saja perasaan gerah ini, karena sekali lagi kamu
duduk di depan pintu, bukan saja dengan tatapan harap melainkan sudah berubah
menjadi tatapan geram, seakan menyimpan kemarahan.
Duh … apa yang harus kulakukan? Aku sudah memenuhi
permintaanmu semalam. Semua sisa-sisa “hartaku” telah kuserahkan kepadamu.
Tidak ada lagi yang tersisa.
Dengan mengumpulkan keberanianku, aku melangkah melewatimu.
Kulihat matamu semakin tajam dan mulutmu menyeringai seakan siap menerkamku. Aku membalikkan badan, kucoba membalas
tatapanmu. Sejenak kita saling bertatapan, tetapi aku kalah. Mata birumu seakan
menembus jantungku.
Bukan karena ngeri namun ada rasa iba yang tak sanggup
kutepis. Baiklah, aku harus memenuhi permintaanmu. Terpaksa aku kembali,
mengambil sisa-sisa hartaku yang masih
ada di lemari makan.
“Puss … puss …”
Kamu berlari dan menyambutku
dengan senyum manismu.
****************
PELAJARAN KEDUA
Hampir saja aku terjerembab ke
lantai saat serombongan anak-anak berlari menyeruduk punggungku.
“Heii … ada apa?” Teriakku kaget.
“Orang gila Bu!” Salah seorang
anak membalas teriakanku, larinya semakin kencang. Aku menoleh ke arah belakang
anak-anak itu. Kulihat di sana seorang laki-laki berperawakan tinggi besar juga
berlari sambil mengacung-acungkan sebilah bambu. Bergegas aku meminggirkan
badanku ke dinding kelas.
“Hoii … tunggu!” Teriak laki-laki
itu dengan muka merah. Saat dia melintas di depanku, dia melirik sekilas sambil
senyum seringai kepadaku. Aku merinding melihatnya, di lengan krinya terdapat
tato gambar tengkorak menambah seram penampilannya.
Setelah laki-laki itu berlalu,
aku mempercepat langkahku menuju kelas untuk mengajar. Dengan nafas tersengal,
aku menyapa siswaku yang menatapku cemas.
“Ada apa Ibu, kenapa muka ibu
pucat?” Tanya ketua kelas, sehabis menjawab salamku.
“Ada orang gila, tadi memburu
anak-anak.” Jawabku dengan nafas mengap-mengap.
Tiba-tiba, pintu kelas diketuk.
Ketua kelas berdiri membukakan pintu.
Astaga, mulutku menganga kaget.
Di depan pintu berdiri laki-laki bertato yang dipanggil oleh anak-anak itu,
orang gila. Darahku rasanya berhenti mengalir. Aku hanya mematung menatapnya
nanar.
“Permisi Bu guru, ini bambu
pesanan pesanan Bapak kepala sekolah, bolehkah aku menitipnya di sini?”
Astagfirullah, ampunilah hambamu
ini yah Allah!
13 Komentar
Wah tak terduga. Keren flash fiction-nya, Kak
BalasHapusCeritanya mau belajar itu dek
Hapusmantap deh bun... sekilas merinding di paragraf akhir
BalasHapusAduh!
BalasHapusMemenuhi permintaanmu semalam. Sisa-sisa hartaku telah kuserahkan padamu. Mengembara bebas ma seng otakku eeh ternyata dia si pussy toooh. Kaka deeh. Saya kira cerita 17 tahun ke atas ini. 😂😂😂
Jauh dudui khayalan tingkat tinggi itu na...wkwkwk
HapusHahah... Seruuuu ceritanya bun!
BalasHapusKebayang kalo ada orang bertatto pegang parang trus tersenyum menyeringai ke arah kita, pastilah kita takutttt...
Lariiii...
HapusItu cerita yang pertama, sakira apa deh... Ternyata kucing, hahaha...
BalasHapusJangki sembarang ingat na..
HapusCerita kedua... kalau saya jadi pemeran utamanya saya sudah lari duluan...
BalasHapuspakamalla tanja'na di?
Hapushhahaa kodong cerita kedua tukang bambuji kodong bukan ji orang gila hihihi penampilan mmg ada pentingnya juga :)
BalasHapusSaya klo lihat tampang seram, biar senyumnya kalahkan senyum leonardo, mallajja.
BalasHapus